Memahami Arti Terbenamnya Matahari di Payangan

33 Km selatan kota Jember, sebuah desa nelayan yang sangat khas dengan bau amis ikan asin dan-tentu saja-sanitasi yang buruk, sangat sulit menemukan rumah yang dilengkapi dengan toilet di dalamnya, kebutuhan air tawar dipenuhi dari sumur-sumur resapan milik warga yang cenderung payau dan menjadi asin saat musim kemarau tiba.

Bersama Ikhsan Muhammad, di atas bukit Sroyo    photo: Ikhsan
Bicara tentang bentang alam, desa ini berada di sebuah semenanjung kecil, diapit Samudera Hindia di sisi barat dan selatan serta muara sungai Mayang di sisi timur.5 bukit besar Sroyo, Wedhus, dan tiga bukit lainnya berdiri kokoh mengelilingi desa berbatasan langsung dengan laut seakan menjadi benteng alami dari terjangan gelombang Samudera Hindia. Bekas tempat pengintaian bala tentara jepang berada di semua bukit itu, sepertinya Jepang begitu cepat membangun pertahanan di sepanjang pesisir selatan pulau jawa, mungkin karena sisi itu berhadapan
langsung dengan Australia yang notabene tergabung dalam pasukan sekutu.

Payangan bukanlah suatu tempat yang asing untukku,sebelumnya bagiku desa itu tidak memiliki keistimewaan sama sekali sampai aku menemukan sebuah tempat yang sesuai untuk surfing disana, dibawah bukit Sroyo dan di bawah bukit Wedhus tepatnya di muara sungai Mayang. Ombak di bawah bukit Sroyo bertipe "beach break" dimana ombak tidak pecah di satu tempat, melainkan mengikuti pergeseran pasir di bawah permukaan air. Tipe ombak ini membuat surfer harus jeli memilih posisi dan jenis ombak yang datang, ditambah lagi dengan arusnya yang cukup kuat menjadikan "Sroyo point" sebuah medan latihan yang cukup berat bagi pemula.

Ombak kiri Payangan, muncul saat low tide   photo: Dedik I.

"Goat point" dibawah bukit Wedhus bertipe "Point Break" dimana ombak hanya pecah di satu titik, lebih memudahkan surfer untuk memilih tempat meluncur. Disini ombak pecah persis di pinggir karang dengan beberapa sesi barrel yang akan tercipta bila gelombang besar memasuki muara sungai Mayang, namun aliran sungai di sisi timur teluk kecil itu membuat surfer harus waspada untuk menjaga jarak agar tidak terbawa arus ke laut lepas. Untuk mencapai point ini surfer harus terlebih dahulu menyeberangi muara sungai Mayang yang cukup lebar dengan berenang atau menyewa perahu nelayan karena tidak ada satupun jembatan untuk menyeberangi muara sungai ini. Disebelah "Goat point" adalah sebuah teluk yang teduh dan tidak berombak karena terlindungi oleh gugusan atol di depan teluk, karena itu teluk ini dimanfaatkan nelayan sebagai tempat parkir perahu mereka, di teluk ini pula kita bisa berenang sepuasnya tanpa kuatir terhempas ombak atau terseret arus.

Hampir setiap akhir pekan aku habiskan di Payangan untuk surfing dari pagi hingga petang menjelang, karena itu aku semakin dekat dan lekat dengan kehidupan masyarakat di desa itu, beberapa pemuda dan anak-anak aku latih surfing dan begitu mereka mulai mahir, aku berikan mereka papan selancar untuk mereka pakai setiap harinya. Saat ini sudah setidaknya 4 orang dimana 2 orang diantaranya masih anak-anak bermain selancar setiap ombak bagus datang, setidaknya selancar memberi mereka semangat mengarungi kehidupan keras sebagai nelayan.

Sebagian besar nelayan Payangan adalah penyelam lobster. Mereka menyelam di kedalaman 20 sampai 50 meter tanpa pakaian khusus dan hanya berbantu kompresor sebagai satu-satunya pasokan udara. Lazimnya mereka beroperasi pada malam hari, karena malam hari adalah waktu bagi lobster untuk keluar dari terumbu karang tempat tinggal mereka. Namun kebanyakan para nelayan itu pulang dengan kepala tertunduk dan muka masam pada pagi harinya tanpa satupun tangkapan bisa mereka dapatkan. Hanya 1 dari 10 kapal yang berangkat beruntung menemukan lobster dalam operasi penyelaman mereka.

Bocah pantai     photo: Ikhsan
Hidup sebagai nelayan di Payangan bagaikan menggosok kertas lotre setiap harinya, tidak ada yang pasti di laut, semua bergantung kepada cuaca dan keberuntungan. Istilah High Risk, High Gain adalah omong kosong jika kita berhadapan dengan laut. Resiko yang tinggi tidak menjamin mendapatkan hasil yang tinggi pula, walaupun nyawa menjadi taruhan utamanya.Tidak banyak pilihan yang tersedia bagi para pemuda di Payangan, kebanyakan adalah pengangguran karena mereka berpikir resiko bekerja sebagai nelayan terlalu besar dibandingkan dengan hasil yang bisa mereka dapatkan. Mereka lebih memilih berebut lahan parkir saat banyak pengunjung berwisata di pantai mereka saat akhir pekan dan hari libur nasional, hasil yang didapat harus dibagi dengan begitu banyak tangan, tentu saja sangat kecil nilainya namun setidaknya resikonya jauh lebih kecil daripada bertarung dengan maut di lautan.

No comments:

Post a Comment